Jumat, 08 November 2019

Mengenal Upacara Sekaten Di Solo

Wawan Setiawan Tirta
Sekaten merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad yang bertepatan pada tanggal 12 bulan Maulud dalam bentuk ritual upacara adat yang digelar oleh dua keraton yaitu Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat (Yogyakarta) dan Keraton Surakarta Hadiningrat (Solo). Terdapat sejumlah kesamaan dan perbedaan dalam upacara di dua keraton tersebut. Upacara Sekaten merupakan upacara adat yang tidak berkaitan dengan siklus hidup manusia. Upacara sekaten ini juga digunakan oleh raja/sultan untuk berkomunikasi dengan rakyatnya dan untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pada masa awal perkembangan agama Islam, Sunan Kalijaga menggunakan gamelan untuk menyebarkan Agama Islam. Dua perangkat gamelan tersebut bernama Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Sunan Kalijaga membunyikan gamelan untuk menarik minat penduduk agar datang untuk menikmati pagelaran. Disela-sela pagelaran tersebut beliau mengadakan khutbah untuk menyebarkan agama Islam. Bagi penduduk yang ingin memeluk agama

Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat. Istilah syahadat yang diucapkan syahadatain berangsur-angsur berubah dalam pengucapannya menjadi syakatain dan pada akhirnya menjadi Sekaten.

Ada versi lain bahwa istilah Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) karena orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan bahagia dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.

Sebagai upacara pendahuluan, sekaten diadakan seminggu sebelum hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.yaitu pada tanggal 5 Maulud. Kedua perangkat gamelan dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan utara (Keben). Pada sore hari, kedua perangkat gamelan tersebut mulai dibunyikan. Beranjak tengah malam, kedua perangkat gamelan diarak oleh iring-iringan abdi dalem jajar disertai prajurit pengawal keraton berseragam lengkap menuju Masjid Agung. Di Masjid Agung akan dibunyikan setiap hari kecuali hari Jum'at hingga selesai sholat Jumat siang harinya.

Gamelan yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Selama dan sebelum sekaten diadakan pula pasar malam yang dimeriahkan oleh warga di alun-alun utara.

Puncak acara sekaten adalah Grebeg Maulud yang jatuh pada tanggal 12 Maulud yng diawali oleh parade prajurit keraton mengenakan pakaian kebesarannya. Parade dimulai dari halaman utara Kemandungan dan keraton melewati Sitihinggil menuju ke Pagelaran di alun-alun utara. Dalam parade ini diusung pula sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Gunungan tersebut melambangkan kemakmuran dan  kesejahteraan Mataram.

Pada saat parade menyeberangi alun-alun utara, mereka akan disambut oleh tembakan salvo dan dorkan prajurit keraton yang telah menunggu.
Sekaten merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad yang bertepatan pada tanggal  Mengenal Upacara Sekaten Di Solo
Proses tersebut disebut dengan garebeg. Kata garebeg berasal dari bahasa Jawa brebeg atau gumrebeg yang berarti  suara ribut. Gunungan tersebut didoakan dan diberkahi di Masjid Agung. Kemudian gunungan tersebut akan diperebutkan oleh warga yang datang menyaksikan acara grebeg Maulud. Mereka mempercayai bahwa gunungan itu merupakan benda suci dan akan membawa berkah bagi kesehatan dan keselamatan mereka. Setelah upacara selesai, dua perangkat gamelan akan dibawa kembali ke tempat penyimpanannya di keraton.